Sabtu, 10 November 2012

Tantangan Baru Dunia Kepustakawanan: Menuju Masa Depan yang Berubah

Perpustakaan, Pustakawan dan Kemajuan Jaman

Pustakawan sekarang ini boleh mengatakan bahwa pekerjaan mereka tidak sekedar menata buku, tetapi memberikan akses informasi kepada masyarakat dalam berbagai format. Karena pustakawan, seperti halnya orang lain, yakin bahwa dunia perdagangan, komunikasi dan informasi sudah beralih ke format digital, mereka berjuang memberikan akses internet untuk mencegah agar tidak dianggap menjadi masyarakat kelas-dua dalam dunia digital. Suatu keanehan timbul dalam perjalanan menuju perpustakaan digital masa mendatang. Bukannya menjadi penjaga kunci database pengetahuan universal, pustakawan semakin mendapati diri mereka berada dalam peran yang berlebihan dan tidak diduga-duga sebelumnya: mereka menjadi penyedia layanan dukungan teknologi yang ada pada urutan bawah.
Seharusnya memang tidak demikian. Perpustakaan masa kini menyediakan berbagai media dan kegiatan sosiokultural menjadi “blended libraries” menurut Kathleen Imhoff, asisten direktur Broward County Library of Fort Lauderdale. Florida. Ada kecenderungan bahwa perpustakaan mulai menyembunyikan bukunya di belakang dan menempatkan komputer di bagian depan agar sense of atau rasa teknologi muncul dalam dunia perpustakaan. Ada juga perpustakaan yang saat ini lebih banyak menyediakan anggaran untuk koleksi digital dari pada koleksi cetak. Tidak hanya itu perpustakaan juga berlomba-lomba menyediakan layanan yang semakin bertambah seperti layanan akses internet, layanan multimedia dan sebagainya. Namun demikian, masih ada juga perpustakaan-perpustakaan yang menyediakan buku-buku yang serba sedikit dan dengan fasilitas yang sangat minimal pula. Namun kedua macam perpustakaan tersebut sama-sama lakunya, hanya pasarnya berbeda.
Apa yang menarik dari fenomena tersebut adalah: terjadinya digital divide. Ada gap teknologi antara satu perpustakaan dengan perpustakaan lainnya. Demikian pula di sisi pemakainya. Digital divide atau perbedaan kemampuan pemanfaatan teknologi informasi terjadi pada saat ini antara satu orang dengan orang lain tanpa batasan usia maupun profesi..
Setiap ada seminar atau pelatihan bertemakan perpustakaan digital, sering timbul keluhan dari peserta bahwa mereka tidak memiliki akses terhadap teknologi informasi atau mereka tidak memiliki fasilitas teknologi informasi tersebut. Hal ini menggambarkan bahwa ada gap pula di antara para pemikir dan pengembang perpustakaan bahwa di antara para pustakawan sendiri juga terjadi gap kemampuan teknologi informasi.
Gambaran yang menarik dan perlu dicermati adalah adanya beberapa pustakawan yang kemudian menyikapi perkembangan teknologi informasi ini sebagai suatu lahan baru dalam pengembangan perpustakaan. Ada pustakawan yang mengembangkan software perpustakaan yang sudah ada dan kemudian dipasarkan ke perpustakaan; ada pustakawan yang membuat software dan memasarkan kepada perpustakaan. Ada pula yang melihat teknologi informasi sebagai suatu hal yang HARUS dimiliki untuk mengubah image perpustakaan. Tidak kalah penting juga untuk dicermati oleh para pengajar bidang ilmu perpustakaan adalah munculnya perpustakaan digital. Para pustakawan kadang-kadang tidak dapat membedakan antara automasi perpustakaan dengan perpustakaan digital sehingga automasi sering diidentikkan dengan perpustakaan digital. Tugas para pengajar bidang ilmu perpustakaan adalah meluruskan kembali peran pustakawan sebagai penjaga informasi dan ilmu pengetahuan. Demikian halnya para mahasiswa di bidang ilmu perpustakan perlu mencermati kembali perkembangan-perkembangan yang terjadi saat ini dan mgenevaluasi diri dimana posisi diri sendiri tersebut.
Barangkali akan sangat penting bagi para akademisi di kampus untuk memikirkan kembali peran pustakawan dalam bidangnya dan meningkatkan image perpustakaan sehingga akan lebih banyak orang memanfaatkan perpustakaan.
Ada beberapa tantangan dalam dunia kepustakawanan yang saat ini muncul. Tantangan tersebut dapat memacu maupun menghambat perpustakaan di Negara kita:

Tantangan pertama: Web 2.0

Saat ini pemanfaatan internet telah sangat banyak. Bahkan dalam suatu survey, terlihat anak-anak sekarang akan memprioritaskan internet sebagai alat Bantu dalam menyelesaikan tugas-tugas sekola ataupun perkuliahannya. Dengan kata lain, internet telah menjadi fasilitas utama penunjang pendidikan dan mengesampingkan adanya perpustakaan. Fenomena ini juga semakin terlihat di Indonesia dimana semakin bangak anak-anak yang menggunakan internet sebagai alat Bantu untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan rumah. Sementara itu, internet pun juga terus berkembang dan saat ini masyarakat telah banyak memanfaatkan web 2.0 sebagai suatu media untuk berkomunikasi dan berbagi pengalaman dan cerita, berbagi gambar, berbagi audio dan sebagainya. Sebagian perpustakaan juga telah mulai menerapkan web 2.0 agar fasilitas dan informasi mereka dapat dengan mudah diketahui oleh para penggunanya. Web 2.0 merupakan pengembangan internet sebagai media untuk bersosialisasi dengan sesame serta untuk berbagi. Dalam kaitan dengan perpustakaan, web 2.0 dapat digunakan misalnya untuk lebih menjelaskan tentang isi katalog. Dengan berbasis web 2.0 maka katalog yang dulunya hanya berisi informasi serba sedikit tentang sebuah buku, kini informasinya jauh lebih bermanfaat dari sebelumnya, karena katalog ini dilengkapi dengan daftar isi buku, review dan lain sebagainya; bahkan orang yang pernah membaca buku tersebut dapat pula menambahkan informasi tentang buku tersebut.
walaupun saat ini para pustakawan Indonesia masih berbicara tentang perpustakaan digital** dengan berbagai seluk beluknya dan semoga dalam waktu yang tidak terlalu lama akan pula masuk dalam kancah web 2.0 dan library 2.0. Dan tentu saja masih ada berbagai kemajuan web 2.0 yang dapat diterapkan di perpustakaan.
Untuk dapat maju dan sejajar dengan para pustakawan di negara lain, kita harus berani tampil dalam dunia kepustakawanan yang berwawasan multidisiplin dan multi-skills.

Tantangan kedua: peran-peran baru kepustakawanan

Beberapa waktu yang lalu saya sempat bertemu dengan Jeffrey Trzeciak, kepala Perpustakaan McMaster University. Saya bertemu beliau dalam suatu forum di China.*** Beliau mengatakan telah mengangkat 7 pustakawan baru yaitu

(1) gaming librarian
(2) digital strategist
(3) digital technologist
(4) e-resources librarian
(5) archivist librarian
(6) marketing and communication librarian
(7) teaching and learning librarian.

Ketujuh posisi tersebut dijabat oleh para pustakawan dan berlatar belakang pustakawan juga. Bagaimana dengan kita? Beranikah kita merancang peran-peran baru dalam kepustakawanan? Ataukah kita akan tetap terbelenggu dengan rutinitas sesuai yang tertulis pada jabatan fungsional pustakawan?

Tantangan ketiga: masyarakat yang alliterate

Tantangan ketiga merupakan tantangan klasik yang terutama kita hadapi dalam dunia sehari-hari. Walaupun selalu saja banyak perpustakaan mengatakan bahwa perpustakaan mereka selalu ramai dikunjungi oleh para pemakainya, namun perlu ditelusuri lebih lanjut, berapa persen dari masyarakat tersebut yang telah memanfaatkan perpustakaan. Angka statistic yang besar tidak akan ada artinya bila pembaginya sangat besar. Pengembangan minat baca memang harus dilakukan dari kecil dan jangan sampai terputus di tengah jalan. Untuk itulah kita perlu memikirkan juga para pustakawan yang bekerja di sekolah-sekolah (SD, SMP, dan SMA) agar perjuangan mereka bisa lebih diargai dan mendapatkan apresiasi yang lebih baik lagi. Usia sekolah merupakan critical ages untuk mengembangkan minat baca, sehingga pustakawan harus mendapatkan dukungan dalam rangka meningkatkan minat baca tersebut. UNESCO telah
mengeluarkan berbagai bacaan tentang literasi yang sangat baik untuk dipelajari oleh para pustakawan.

Tantangan keempat: membangun pustakawan yang komunikatif dan berpengetahuan

Tantangan ini ada di dunia kampus dan setelahnya. Para pengajar dan pembelajar akan sangat baik kalau bisa mempertimbangkan para calon pustakawan tersebut tidak hanya memiliki ketrampilan dalam bidangnya saja, tetapi juga mampu berbicara pada forum-forum yang mungkin berawal dari kampus dan kemudian masuk ke tingkat lokal, nasional dan internasional. Sasya merasakan betapa sedikitnya pustakawan kita yang berperan serta dalam kancah internasional. Dua kali saya mempresentasikan makalah di konferensi perpustakaan internasional yang diselenggarakan di Malaysia, tetapi tak satu pun pustakawan Indonesia mengikutinya. Juga di forum IFLA, misalnya, lebih berperan sebagai peserta dan itupun didominasi oleh Perpustakaan Nasional, sedangkan presenter dari Indonesia hanya satu.orang saja. Pada pertemuan kongres internasional ALA dua bulan lalu beberapa pustakawan ramai-ramai menulis satu makalah yang lolos karena penulis utamanya adalah orang Amerika sendiri.

Penutup
Singkatnya, para pustakawan saat ini dihadapkan pada suatu wacana digital yang mana pustakawan tidak boleh terjebak sebagai seorang ahli atau teknisi dalam dunia informatika. Pustakawan adalah pustakawan, hanya saja saat ini memiliki peran yang lebih besar karena adanya kemajuan dalam teknologi informasi.
Selain itu, tantangan-tantangan baru seperti hadirnya web 2.0 yang diikuti dengan library 2.0 serta tantangan lain: peran baru pustakawan, aliterasi di masyarakat, dan pustakawan yang harus komunikatif dan sejajar dengan profesi lainnya haruslah menjadi tantangan yang perlu direspon secara positif oleh para pustakawan di masa mendatang.
Selamat mengikuti pendidikan kepustakawanan dan tunjukkan diri kita sebagai pustakawan yang berani tampil beda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar